Kamis, 24 Juni 2010

SATU HARI

PAGI
Lana termenung setelah mengakhiri percakapan di telepon. Ia menekan dadanya yang tiba-tiba sakit. Luka itu masih ada. Luka yang sudah 2 tahun ini mengendap di hatinya. Luka yang masih terus berdarah jika sekelebat bayang masa lalu menghampirinya. Masih terngiang suara Gista diseberang telepon tadi.
"Lana, kamu harus datang, ya ? Awas lho kalau nggak datang !" ancam Gista lima menit yang lalu.
"Hallo...Hallo....Lana...." Gista berteriak saat tak mendengar sahutan Lana.
"Aku nggak janji, ya. Aku belum meminta izin libur pada bosku."
"Aku nggak mau tahu. Pokoknya kamu harus datang. Ini kan hari bahagiaku. Hari pernikahan sepupumu !" Gista mengakhiri percakapan setelah mendapat jawaban 'iya' dari bibir Lana.
Lana kembali merasakan nyeri di dadanya. Ia membuka mulut dan menghirup udara banyak-banyak. Sepertinya pasokan oksigen di paru-parunya tiba-tiba habis. Ia seperti berada di ruang hampa udara. Megap-megap kehabisan nafas. Padahal kamarnya cukup luas. Jendela kamarnya sudah terbuka. Sinar matahari pagi dengan bebas masuk ke dalam kamarnya. Membiaskan cahaya kekuningan ke setiap sudut ruangan.
Lana bangkit dari tempat tidurnya dalam diam. Mengatur nafasnya yang sudah mulai  normal. Ia melirik jam dinding, pukul tujuh. Pagi ini terasa sepi. Biasanya pada jam begini, Lili, keponakannya yang berumur 2 tahun selalu menerobos masuk ke dalam kamarnya dan membangunkannya dengan sebuah kecupan di pipinya. Mbak Nila, kakaknya sibuk menyiapkan sarapan pagi di dapur. Mas Pram suaminya tengah asyik membaca koran saat Lana menyapanya di meja makan. Pagi ini tidak ada aktifitas seperti itu. Kemarin sore semua anggota keluarga pergi ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan Gista. Lana tidak ikut pergi bersama mereka. Ia beralasan masih ada pekerjaan kantor yang harus di selesaikannya dan akan menyusul hari ini. Toh, kalaupun ia tidak datang, ia sudah menitipakan kado pernikahan pada Mbak Nila.

SIANG
Lana dilema. Untuk rasa sakit yang selalu menderanya selama 2 tahun ini ia tidak ingin pergi. Namun jika ia mengingat janjinya pada Gista ia bimbang. Haruskah ia pergi ? Sanggupkah ia melihat semua ini? Apakah dirinya tidak akan terluka lagi ? Berapa banyak darah lagi yang akan menetes dari luka hatinya.
Lana berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Bolak-balik menatap jam di dinding kamarnya. Jam terus berputar dengan cepat. Lana belum juga mengambil keputusan. Handphonenya tiba-tiba berdering. Ia terlonjak kaget. Ragu-ragu ia mengambil HPnya di atas bantal. Nama Gista tertera di layar Hpnya.
"Hallo" sapanya.
"Lana, kamu dimana? Sudah nyampe Jakarta belum ?"
"E...eh..." Lana tergagap.
 "Ya ampun, Lana...Kamu belum berangkat juga!!!" teriak Gista nyaring.Lana reflek menjauhkan HP dari telinganya. "Sebentar lagi ijab qabulnya dimulai dan kamu masih di Bandung ?!!"
"Iya,iya....sebentar lagi berangkat." Lana memutusakan telepon dan bergegas pergi ke stasiun. Kereta Argo Gede membawanya kembali ke Jakarta. Tempat dimana hatinya berdarah-darah.


SORE
Pukul 17.24 Lana menjejakkan kakinya di kota yang sudah 2 tahun ini ditinggalkannya. Bau kota metropolitan memenuhi indera penciumannya. Kota dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Kota yang sudah memberikan banyak kenangan untuknya. Dimana ia pernah merasakan jatuh cinta untuk pertama kali dalam hidupnya. Cinta yang hanya sekejap ia rasakan. Namun berakhir dengan rasa sakit yang luar biasa. Membuat ia menyingkir dari Jakarta dengan membawa luka yang masih berdarah-darah ke Bandung. Disana ia memulai menata lagi kepingan hati yang telah koyak. Menambal lubang-lubang di hatinya yang basah darah.Walaupu ia tahu usahanya selalu sia-sia.
Lana memantapkan hatinya untuk masuk ke dalam gedung pernikahan. Warna putih mendominasi dekorasi ruangan. Bunga-bunga segar berwarna putih tertata apik di setiap sudut ruangan. Aroma suka cita menguar dari seluruh ruangan.  Dulu ia yang memimpikan pernikahan seperti ini. Tapi sekarang ia sudah mengubur jauh-jauh mimpinya itu. Lana  berjalan dengan limbung. Melangkahkan kakinya dengan gemetaran. Ia menghela nafas dalam-dalam. Mengabaikan semua perasaan nyeri yang menghantam dadanya. Membebat luka di  hatinya yang mulai berdarah lagi. Mbak Nila dari ujung seberang melambaikan tangan padanya. Ia tengah asyik mengobrol dengan tante Ratna, adik mamanya yang juga ibu Gista. Lana mendekat. Matanya tertuju pada pelaminan dan kedua mempelai. Hatinya mencelos. Bongkahan batu besar seakan merosot dari hatinya. Gista tampak anggun dengan kebaya modern berwarna cokelat keemasan.Ia tak pernah lepas dari senyumannya saat menyalami para tamu undangan.Di sampingnya berdiri laki-laki yang sekarang sudah sah menjadi suaminya. Tak ada yang berubah dari dirinya. Dua tahun lalu atau sekarang ia tetap menjadi laki-laki yang dicintai oleh Lana. Ia juga tersenyum. Senyum yang dulu pernah membuat Lana jatuh hati. 
"Lana, ini kenalin Mas Bayu pacar aku." Sekelebat masa lalu tiba-tiba menghampirinya saat Gista bertandang ke rumahnya dengan membawa cinta pertama untuk Lana. Laki-laki bernama Bayu itu tersenyum. Senyum yang langsung melelehkan hatinya dan membuat ia berdebar-debar. Saat itu ia sedang disibukkan dengan skripsinya. Gista dengan berbaik hati menyarankan Bayu yang kala itu seorang asdos untuk membantu Lana dalam mengerjakan skripsinya. Bayu bersedia dan mulai saat itu mereka sering membuat janji. Kebersamaan yang semakin intens menumbuhkan benih-benih cinta yang seharusnya tak terjadi. Namun Lana yang dari awal sudah tertarik pada Bayu tak dapat mengelak perasaan cinta terlarang diantara mereka. Hampir satu tahun Lana menjalin cinta dengan sembunyi-sembunyi. Walaupun perasaannya sering terluka karena selalu dinomorduakan. Tapi Bayu selalu meyakinkan dirinya bahwa ia mencintainya,  ia menginginkannya. Sampai suatu hari Bayu memberi kabar bahwa ia akan bertunangan dengan Gista.Dan ia ingin mengakhiri hubungan yang semestinya dari awal tidak pernah tercipta. Dunia Lana seakan runtuh. Hatinya serasa di tusuk beribu-ribu pisau yang sangat tajam. Sejak saat itu Bayu tak pernah menemuinya. Ia seakan menghilang. Dan Lana memilih meninggalkan Jakarta dengan lubang berdarah di hatinya.
" Lana..." Sebuah suara menarik Lana kembali. Gista melambaikan tangannya dari kursi pelaminanya. Ia tesenyum lebar saat melihat kehadirannya. Gista mengajaknya mendekat. 
Dengan susah payah Lana berhasil mencapai pelaminan dan berdiri dengan tegak di hadapan pasangan pengantin. Gista memeluknya. Lana mengucapkan selamat dengan terbata. Sebutir airmata keluar dari matanya tapi segera di tepisnya tanpa ada yang menyadarinya. Gista melepaskan pelukan. Dengan canggung Lana juga memberi ucapan selamat pada Bayu yang tersenyum kaku.
"Maaf, aku terlambat. "
"Terimakasih sudah datang." ucap Bayu. Lana menoleh. Menatap matanya yang bening. Mencari sebuah pengharapan disana untuk cintanya. Tapi usahanya sia-sia. Ternyata penilaian ia salah bahwa tidak ada yang berubah. Ada.  Ada yang berubah. Tatapan mata itu. Tatapan penuh cinta itu sudah tidak ada lagi disana. Sudah habiskah ? Apa ia harus berhenti disini ? Membawa lagi lukanya dan mengobatinya sendiri.


MALAM
Gista membujuk Lana untuk menginap, tapi ia bersikeras untuk langsung pulang. Izin liburnya hanya satu hari, begitu alasannya. Lana kembali menaiki Argo Gede. Pikirannya melayang kembali pada pernikahan Gista. Ia tampak bahagia dengan pernikahannya tanpa pernah tahu Bayu telah berbagi hati dengan orang lain. Lana bertekad akan mengubur semuanya. Dari sini ia memulai dan dari sinilah semua harus berakhir tanpa harus meninggalkan luka lagi di hatinya. Bayu sekarang sudah bahagia dengan pilihannya, maka iapun harus meraih kebahagiaannya juga. Bukankah manusia sudah diciptakan untuk berpasang-pasangan. Jadi kenapa ia menyerah hanya karena pernah gagal dalam bercinta. Ia tidak berharap menemukan laki-laki yang lebih baik dari Bayu, tapi ia yakin ia bisa mencintai lagi.

Minggu, 20 Juni 2010

KISAH PRINCE CHARMING



Ih, nyebelin banget seh itu cowok!” Jena menunjuk dengan kepalanya pada sosok cowok jangkung yang sedang dikerumuni oleh lima orang cewek, sepertinya anak-anak kelas satu.Para cewek itu keliatan banget lagi cari perhatian dengan tertawa keras-keras untuk setiap joke yang dikeluarkan cowok jangkung tersebut. Saskia yang sedang asyik membaca ‘Lazuardy’, majalah terbitan sekolah mendongak sebentar.
“Kenapa?Jealous?” ucap Saskia kembali menekuri majalahnya.
“A-apa?” Jena tergagap. “Yang bener aja !”
Saskia menunjuk pada artikel yang tengah dibacanya.Artikel yang ditulis oleh Jena sendiri mengenai ketua tim baseball yang dianggapnya doyan gonta-ganti cewek karena statusnya ketimbang menulis prestasi yang baru dimenangkan tim baseball-nya dalam turnamen antar propinsi bulan lalu. Jena lebih suka mengorek-ngorek kejelekannya berikut tambahan komentar-komentar pedas dari mantan-mantan pacarnya yang sakit hati. Menurutnya nggak ada yang menarik pada cowok yang bernama Benji Raditya, salah satu Prince Charming. Sumpah, ini hal yang paling konyol bagi Jena setelah berhasil menjadi editor Lazuardy, dia tetap tak bisa membuang rubrik ‘Prince Charming of The Month’, urutan 10 besar cowok-cowok yang wajib dipuja. Dan Benji nggak pernah melepaskan posisi paling atas. Lebih gilanya lagi ada sekelompok cewek yang membuat fans club berikut blog serta bagi-bagi pin-up gratis.Saskia latah ikut-ikutan daftar menjadi anggota. Tapi setelah Jena sukses menjodohkannya dengan Jonas, ia langsung mencoret keanggotannya.
Jena kembali menatap sosok cowok jangkung itu. Teringat kembali paras Byang merah padam saat melemparkan majalah yang baru terbit di depan hidungnya seminggu yang lalu.
“Lo kira dengan tulisan idiot itu elo bisa jadi wartawan hebat !” teriaknya waktu itu. Kuping Jena langsung memerah.
Bukan cuma disitu saja pertengkaran mereka bahkan jauh sebelumnya, saat mereka duduk di kelas satu yang sama. Mereka terlibat debat di kelas Sosiologi saat Benji dengan lantang bilang jika emansipasi kaum feminis itu sudah berlebihan. Kaum wanita tetap tidak bisa disejajarkan dengan laki-laki terutama dalam hal kepimpinan. Laki-laki pemegang utama. Tentu saja Jena yang tengah terobsesi menjadi editor majalah Lazuardy menentang mati-matian. Debat pasti akan semakin sengit karena mereka sudah mulai menyerang pribadi masing-masing jika tidak segera diinterupsi oleh Bu Maya.Debat diskusi itu berakhir dengan tugas essay untuk masing-masing siswa.
“Eh, elo udah punya pasangan buat malam promnite ?” Suara Saskia membuyarkan lamunannya. Benji masih asyik ketawa-ketiwi bersama para fansnya.
“Hah, apa ?” Jena kembali tergagap, “Oh, soal itu. Belum ada”, jawabnya enteng. Kini ia beralih menatap Saskia yang bangkit dan mengempit majalah di lengannya.
“Dia boleh juga dipertimbangkan. Sangat menyenangkan sekali membuat patah hati para gadis itu !” ucapnya sambil melirik ke arah Benji.
“Nggak akan gue pertimbangkan sedikitpun !” serunya galak.
“Ya sudah, kalau begitu jangan pandangi dia lama-lama. Dia pasti akan senang sekali mempunyai secret admirer.
Mata Jena terbelalak lebar. Tampangnya semakin galak. Dia langsung melancarkan protesnya.
“Menurut elo, gue…”
Kalimatnya segera dipotong oleh kibasan tangan Saskia. Menyerahkan buku yang dikempitnya.
“Gue mau ketemu Jonas dulu. Mau nyocokin baju promnite.Bye…” Saskia melambaikan tangan dan langsung melesat pergi. Jena Cuma bengong menatap sahabatnya menjauh dan berbelok di ujung koridor. Kemudian ia menggerutu tak jelas. Berbalik menuju lemari loker.
“Apa ?!” serunya galak saat tiba-tiba mendapati Benji sudah berdiri di samping lokernya.
“Ya ampun, lo bisa ramah sedikit ngggak seh? “
Jena menatap sinis, tapi Benji tidak mempedulikannya.
“Lo belum punya pasangan promnite, kan?” todong Benji.
“Bukan urusan lo.Minggir !” bentak Jena saat Benji menjegal langkahnya. Matanya berkilat marah.
“Ok…”Benji menyamping, berbisik di telinga Jena “Kalo lo belum dapet pasangan sampai malam promnite,lo boleh telepon gue !”.
-----------------
Jena memasuki kamar bernuansa pink saat Saskia tengah sibuk mematut-matutkan diri di depan cermin. Saskia tengah mencoba gaun promnite-nya. Gaun panjang berwarna pink mengkilat. Menurut Jena, Saskia cukup berani membalut kulitnya yang kecokelatan dengan warna pink mencolok yang ia yakin semua orang pasti nggak akan ragu untuk menoleh. Pastilah itu efek yang di inginkan Saskia saat memilih gaun pestanya.Tapi Saskia tampak cantik. Gaun bertali spaghetti itu sangat pas ditubuhnya yang ramping. Jena melirik stilleto berwarna emas melingkari kakinya. Tiga buah batu hitam berjajar menghiasi bagian depan sepatunya yang terbuka. Usaha Saskia untuk menjadi pusat perhatian perlu diacungi jempol.
“Hei,jangan bilang elo mulai menyukai gue ya !”
Saskia berkacak pinggang tanpa beranjak dari tempatnya berdiri. Lamunan Jena meledak,menariknya kembali pada kamar bernuansa pink.
“Gue nggak akan jadi lesbian cuma gara-gara belum dapat pasangan prom !” runtuk Jena, melangkah gontai menuju ranjang Saskia yang lagi-lagi bedcover-nya berwarna pink dengan motif Strawberry on The Shortcakes.
“Hei, ada seratus lebih cowok di sekolah kita dan elo belum menentukan pilihan mau pergi sama siapa?”
Jena menggeleng. Meraih majalah fashion edisi terbaru yang tergeletak terbuka menampilkan sosok Halle Berry dengan gaun berwarna pink.
“Ini bukan waktunya untuk pilih-pilih, honey. Jam tujuh malam ini acaranya.” Saskia mengingtkan, karena tadi pagi Jena baru saja menolak ajakan Lillo anak kelas 12.B yang ia kenal saat puisi cintanya untuk Jena termuat dalam lazuardy edisi valentine.
“Elo ngggak berencana buat nggak datang, kan ?” lanjutnya sambil memutar tubuhnya menghadap Jena yang mulai membaca artikel ‘ Fashion Through The Ages’.
“Honey, ini malam promnite kita !” Saskia mendesah. “ Waktunya kita bersenang-senang setelah menguras otak saat ujian. Dan mungkin ini juga malam terakhir kita berkumpul bareng temen-temen. Jangan lo lewati Cuma karena nggak dapet pasangan. Nggak ada aturan lo harus bawa pasangan. Yang penting pestanya, kebersamaan kita bareng temen-temen !”
Jena membenarkan kata-kata Saskia sementara matanya tak lepas dari artikel yang dari tadi dibacanya. Sayang sekali jika ia harus melewatkannya. Kebersamaannya selama 3 tahun dengan teman-temannya tingggal menunggu hasil ujian keluar. Setelah itu mereka akan mengambil jalan masing-masing entah kuliah atau langsung bekerja. Begitu juga dengan para guru. Jena langsung teringat pada Mr. Anderson, guru bahasa Inggris nya yang ganteng. Pasangan dansa bukan poin utama dalam pesta promnite. Yang terpenting adalah kebersamaan untuk merayakan kemenangan setelah 3 tahun berkutat dengan buku-buku, tugas-tugas sekolah, kertas ujian berikut contekannya, omelan guru-guru bahkan sampai asem manisnya pacaran. Semua itu akan menyenagkan sekali untuk dikenag suatu hari nanti.
--------------------
Jena melirik jam tangannya saat jarum jam bergeser ke angka empat. Ia memasuki beranda rumah ketika Mbak Mia, kakaknya sedang menyibukkan diri dengan pacarnya. Mereka melompat menjauh saat menyadari kehadiran Jena. Buru-buru Mbak Mia meyambar laptop-nya. Memencet-mencet keyboard-nya asal. Mas Prima dengan sigap mengambil minuman kaleng di meja dan meneguknya hingga habis. Tak mau ambil pusing dengan apa yang dilihatnya, Jena menghempaskan tubuhnya disebelah Mbak Mia yang bergeser sedikit.
“Kenapa kamu?” tanya Mbak Mia yang tak perlu berpura-pura lagi pada laptop-nya.
“Aku kayaknya nggak ikut ke prom deh !” Jena ternyata masih bimbang apalagi ia sama sekali belum mempersiapkan gaun pestanya.
“Belum dapet pasangan prom juga ?” tanya Mba Mia. “Duh, elo payah banget seh !!”
Jena memberenggut.
“Eh, tapi cowok yang tadi lumayan.”
“Cowok ?” Jena mengernyit.
“He-eh, “ Mbak Mia mengangguk. “Tadi siang ada cowok yang nyariin kamu, tapi langsung pulang setelah tahu kamu nggak ada.”
“Siapa ?” tanya Jena tanya sabar.
“Siapa ya namanya ?” Mbak Mia tampak berpikir. “Duh, kenapa gue selalu amnesia kalo mengingat nama orang.”
“Benji, “ celetuk Mas Prima
“Benji…,” Jena bergumam lirih. Mbak Mia mengangguk-angguk. “Ngapain dia kesini ?”
Jena terus memikirkannya sampai masuk ke dalam kamarnya.
--------------------
Jena memasuki aula sekolah yang kini beralih menjadi ruang pesta. Bunga-bunga mawar dan lampu kerlap-kerlip menyambutnya diiiringi musik jazz yang mengalun lembut dari pemain band diatas panggung. Semua orang tampak bahagia menikmati suara merdu sang vokalis. Jena melihat beberapa teman sekelasnya sedan asyik bergoyang. Matanya menyapu kerumunan pesta, mencari seseorang yang memenuhi kepalanya sejak tadi sore.
“Akhirnya lo datang juga, “ Saskia dari arah belakang mengejutkannya dengan menggandeng Jonas. Gaun pink-nya berkilauan diterpa cahaya lampu. Jonas tersenyum dengan tuxedo-nya. Tampak serasi, pikir Jena.
“Dapet gaun dari mana lo ?” tanya Saskia alih-alih memuji penampilan Jena malam ini yang mengenakan gaun putih mutiara sepanjang lutut ditambah high heel warna senada dengan hiasan pita kecil keemasan. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan sedikit curly diujung-ujung rambutnya.
“Yah, untunglah Mbak Mia mau meminjamkan bajunya. Lebih tepatnya sih-menyewakan.” Ucap Jena “Soalnya gue ngegagalin kencannya sama mas Prima, “ beritahu Jena “Dan gue rasa sudah waktunya dia membuka gerai sewa gaun pesta.”
Mereka bertiga tertawa, sementara ruang pesta semakin sesak. Satu, dua pasangan mulai bergerak ke lantai dansa saat alunan musik waltz melatarbelakangi. Jena mengamati dengan merana.
“Tenang aja honey, Jonas bersedia jadi pasangan dansa kita berdua, “ ucap Saskia.Jonas mengangguk dengan tersenyum tulus. “Tapi gue giliran pertama.” Lalu Saskia menarik Jonas ke tengah lautan dansa. Sedetik kemudian tangan Saskia sudah melingkar di leher Jonas yang dengan mantap merangkul pinggangnya. Mereka mulai berayun dan saling bertatapan.
“Menyedihkan sekali !” Sebuah suara kembali mengejutkannya.Hampir saja ia terpeleset dari high heel-nya. Jena bersumpah tak akan pernah mau memakai sepatu seperti ini lagi. Ia teringat pada sandal jepit Bali kesayangannya. Dilihatnya sosok Benji didepannya tanpa minat untuk mencela. Cowok jangkung itu sudah mempesonanya dengan setelan jas hitam plus kemeja putih. Jasnya sengaja tak dikancingkan. Rambut kecokelatannya mencuat mengkilat. Sejenak Jena berpikir, ia pasti membubuhkan jel banyak-banyak untuk menimbulkan efek tersebut.
“Hey, apa lo mulai sependapat tentang polling konyol itu ?” Benji menilai ekspresi wajah Jena. Ia tercekat. Mengangkat alisnya.
“Gue pikir elo menikmati menjadi Prince Charming tak terkalahkan.”
“Makanya jangan cuma cewek-cewek itu yang lo wawancarai. Memangnya gelar itu bisa meloloskan gue dengan mudah masuk ke universitas,” serunya. Jena tertawa.
“Bukan mereka yang pengen gue bawa kesini,” jawabnya. “Elo juga?”
Jena tersenyum kecut.
“Memangnya elo nggak tahu nomor HP gue ?” tanya Benji tiba-tiba
“HAH…!!!?”
“Kan gue udah bilang elo bisa hubungi gue untuk jasa pasangan dansa,” Benji membungkukkan sedikit badannya, melipat tangan kirinya ke belakang dan sebelahnya ia sodorkan pada Jena. Sesaat Jena tertegun, tapi segera menyambutnya dengan tersipu malu. Semua pasang mata menatap mereka saat dengan canggung ia mengalungkan tangannya pada leher Benji. Tak pernah terbayangkan ia bisa sedekat ini dengan Benji. Mata mereka saling bertemu. Ia mulai berharap malam tidak cepat berlalu. Mengingat-ingat apakah Saskia masih menyimpan pin-up ‘Benji Fans Club’.
“Sepertinya gue akan mendapat masalah, “ bisik Jena. Mengerling pada beberapa orang cewek di sudut ruangan yang tengah menatapnya galak. Tiga diantaranya mantan pacar Benji yang ia wawancarai.
“Yeah, selamat bergabung denganku kalau begitu, “ ucap Benji enteng. “Mereka sudah membuatku pusing selama 3 tahun ini.”
“Oh, ternyata gue ini aspirin elo ?” Jena tertawa geli.
“Ya, gue butuh gadis yang berbeda, “ ucap Benji “Yang berkarakter !”
“Dan itu gue…” Jena tampak tersanjung. Matanya membulat.
“Bukan,” Benji menggeleng. “Tadinya gue ngajak Angelina Jolie, tapi kayaknya dia lebih memillh mengasuh anak-anaknya.”
Jena tertawa keras sementara lagu terus mengalun. Dan permusuhan pun berakhir.

Sabtu, 19 Juni 2010

BLOG PERTAMA

Ini blog pertama aku. Bingung juga seh mau bikin paan di blog aku. Seneng banget deh ngikutin blog punya Mbak Tirza, Mbak Nana, dll yang pada rajin nulis sinopsis drama2 korea. Coz dari dulu aku ngefans banget sama drama2 bikinan korea semenjak nonton Andless Love. Aku bener2 jatuh cinta ma Korea.
Makasih ya buat yang pada rajin bikin sinopsis drama2 Korea. Maju terus... Bikin semangat buat aku ikutan nulis. Tapi kayanya kalo ikutan nulis sinopsis udah banyak ya yang pada nulis. Mending aku share cerpen2 aku aja ya. Daripada jadi arsip di rumah, bis belum pede buat kirim ke majalah.